Pagi hari dan bubur kala itu

Pagi itu, mendung tidak turun sebagai hujan. Ia hanya menggantung rendah, memantulkan cahaya samar yang tidak mampu menghangatkan apapun selain bayangan diri sendiri di balik kaca toko. Jalanan sepi, tidak banyak yang buru-buru, dan langkahku terasa terlalu keras menjejak di trotoar basah. Aroma gorengan mulai mengambang di udara, minyak panas berbuih di wajan kecil pinggir jalan, mengisi udara dengan hangat semu. Aku berhenti sejenak, bukan untuk membeli, hanya sekadar mencari alasan untuk diam di tengah sesuatu yang rasanya melesak ke dalam dada, tanpa nama, tanpa alasan yang layak dikatakan.

Dia tidak ada. Bukan dalam arti fisik semata, tapi dalam cara yang lebih sunyi. Cara yang membuat langkahnya lenyap tanpa pamit, tanpa isyarat. Tiba-tiba saja dia tidak ada di sebelah, padahal beberapa menit lalu masih tertawa kecil atas sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak benar-benar pahami. Seolah ada tombol rahasia di kepalanya yang bisa mematikannya seketika, membuatnya menarik diri ke dalam kabut yang tidak bisa kutembus. Aku tidak tahu apakah itu salahku, atau hanya kebiasaannya yang mengakar, menghilang ketika hari tidak sesuai harapan, ketika pikirannya memberontak tapi tidak tahu cara menjelaskannya selain pergi begitu saja.

Aku mencoba mengejar, bukan dengan kaki, tapi dengan pemahaman. Tapi tidak mudah mengikuti jejak yang tidak pernah meninggalkan tapak. Jalanan pagi itu panjang dan kosong, meski ramai oleh suara motor dan pedagang bubur ayam yang memanggil pelan dengan suara serak. Di sana ada tempat duduk kecil, dua mangkuk bubur yang tidak jadi kupesan, karena apa gunanya makan jika lidahku hanya bisa merasakan diam? Dia pernah bilang dia suka bubur tanpa kecap, hanya kuah ayam, tapi pagi ini pun dia tidak di sana untuk mengoreksi caraku makan yang selalu tercecap aneh katanya.

Aku tahu, mungkin ini hanya suasana hatinya yang berubah seperti cuaca, susah ditebak, tidak bisa dipaksa. Tapi tetap saja, tiap kali dia memutuskan untuk hilang seperti itu, aku jadi harus mengatur ulang peta emosiku sendiri. Tidak ada tanda, tidak ada sinyal. Sekali waktu aku pernah berpikir, mungkin aku hanya numpang lewat dalam harinya. Tapi kemudian dia kembali, dengan tawa dan cerita kecil yang seolah tidak ada yang pernah salah. Dan aku pun diam, menekan kecewa ke dalam, menyambutnya seperti pagi yang tidak pernah benar-benar terang.

Dia tidak tahu betapa aku juga bisa lelah menjadi tempat persinggahan yang hanya dipakai saat langitnya sedang cerah. Tapi aku tetap tinggal, seperti trotoar yang tidak pernah mengeluh diinjak siapa pun, meski tidak semua langkah tahu bagaimana caranya berhenti dan benar-benar menetap. Sebab mungkin, dalam caraku mencintai, aku terlalu sering memaklumi ketidakhadiran yang dibungkus sunyi. Dan pagi ini, sekali lagi, aku membiarkan bubur ayam itu dingin sendirian, seperti hatiku yang pelan-pelan belajar menerima.

Komentar

Postingan Populer